3/31/12

The Hunger Games


“The Hunger Games” -  Kisah The Hunger Games membayangkan di masa depan, pasca perang besar, sebuah negara bernama Panem berdiri—dengan kota Capitol yang megah sebagai pusatnya. Setelah pemberontakan besar usai, sebagai bagian dari kesepakatan damai pasca perang, ke-12 distrik yang mengelilingi Capitol diwajibkan mengirim 2 remaja (usia 12-18 tahun) untuk mengikuti ajang bernama “The Hunger Games”.
Para remaja itu, disebut “tribute”, totalnya berjumlah 24, ditempatkan di rimba belantara buatan, dijadikan tontonan, mengikuti “reality show” tak sekadar bertahan hidup tapi juga harus saling bunuh hingga muncul satu pemenang saja. Yang menang mendapat kemahsyuran, tinggal di Capitol yang berlimpah kekayaan. Dengan latar seperti itu film ini didasarkan. Di Distrik 12, nama Primrose disebut dalam undian. Sadar adiknya takkan sanggup bertahan hidup, Katniss maju menggantikan sang adik. Sejatinya, ini adalah pesan yang empunya, kisah remaja baku hantam hingga ajal tetaplah bukan tontonan bagi anak di bawah usia 12 tahun.Lantas, jika isinya remaja saling bunuh, kenapa pula filmnya ditujukan bagi remaja?

********

The Hunger Games punya kisah mirip Battle Royale. Temanya mungkin sama-sama tentang remaja saling bunuh. Tapi Collins, sang penulis novelnya, dan Gary Ross, sutradaranya, sadar kisah yang mereka suguhkan juga ditujukan bagi remaja. Yang lebih ditonjolkan The Hunger Games kemudian bukan tentang detil bagaimana para remaja saling bunuh, tapi perjuangan seorang anak manusia untuk bertahan hidup.


Memang ada darah muncrat. Tapi sedikit. Ada adegan laga, tapi tak menyita perhatian. Banyak remaja yang mati, tapi lebih banyak yang tak dimunculkan di film. Kita, penonton, lebih banyak diminta membayangkan bagaimana mereka mati.

Buat saya, The Hunger Games malah lebih pas disebut kritik sosial atas suguhan reality show yang mewabah di masyarakat kita. Film ini berpesan, segalanya adalah tontonan demi menarik simpati penonton. Tengok bagaimana para peserta The Hunger Games dijadikan tontonan. Atau momen Katniss dipermak Cinna (Lenny Kravitz), penata busananya, demi menarik simpati. Tengok pula “cinta” Katniss dengan Peeta (Josh Hutcherson) yang lebih terasa sebagai tontonan. Bukankah cinta di reality show macam dipertontonkan mereka akrab kitya saksikan dalam reality show macam AFI, Penghuni Terakhir, dan entah apa lagi?

Ingat pula, sejak awal Hollywood memang tak ingin menyuguhkan sesuatu yang kontroversial dan meniatkan film ini sebagai tontonan remaja. The Hunger Games adalah mainan baru Hollywood untuk meraup banyak uang dari penonton remaja. Cerita Harry Potter sudah tamat, sedang Twiilght tinggal satu film tersisa. Hollywood butuh franchise yang membuat pundi-pundi uang mengalir terus ke kantung mereka. Setelah beberapa kali mencoba menghidupkan novel-novel remaja atau fantasi laris tapi hasilnya flop ketika difilmkan, The Hunger Games jadi pertaruhan paling akhir Hollywood. Beruntung hasilnya menggembirakan (di pekan pertama meraup untung AS$ 155 juta!).

No comments:

Post a Comment

yo yang sudah baca jangan kabur...
nih kolom komentarnya diisi dulu...
makasih :)