8/1/14

Horror Story: Nasib Sang Orok

NASIB SANG OROK
oleh: Bagus Budi Santoso

Mbah Piyah belum datang juga. Sudah sekitar lima menit ia terlambat dari jam kesepakatan. Hal ini membuatku sedikit menganggap bahwa Mbah tidak sesakti seperti yang orang-orang bilang. Katanya bisa menempuh perjalanan dengan kecepatan melebihi manusia normal, inilah sebabnya Mbah tidak pernah mau dijemput. Tapi lantas apa, sampai sekarang belum datang juga, apalagi di luar hujan deras disertai angin kencang.


Aku kasihan melihat istriku meregang nyawa. Ketuban dan darah sudah keluar dari selangkangannya. Tinggal sedikit sentuhan dari Mbah Dukun Bayi agar si Orok bersedia keluar.

Aku masih memegang tangan istriku saat tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu dari arah ruang tamu. Kugenggam lebih erat tangan itu sebelum kemudian kutatap mata sang pemilik, "Tunggu aku sebentar. Mbah Piyah sudah datang sepertinya," lirihku tegas meyakinkan.

Benar saja. Aku kembali menemui istriku bersama Mbah Piyah yang tubuhnya basah kuyub. Mbah ini memang benar-benar tidak sakti, batinku.

"Maaf, Aku terlambat," kata Mbah Piyah datar dengan wajah pucat kedinginan.


"Oh ya tidak apa-apa, Mbah. Bisa langsung dimulai?" Aku rasa tak perlu basa-basi lagi di tengah kondisi segenting ini.

Semua perlengkapan yang telah kusediakan langsung disambar Mbah Piyah. Tangannya yang berurat lincah memainkan perannya. Mulutnya juga tak henti-hentinya mengucapkan 'ambil' dan 'keluarkan' seolah-olah telah menjadi kalimat dzikirnya setiap hari. Di sisi lain, istriku tampak begitu kelelahan dan penuh peluh. Maklum saja ini kali pertamanya melahirkan anak. Tangannya yang biasanya lembut kini harus berubah garang karena cengkeramannya yang erat dan kukunya yang tajam berhasil melukai tangan yang ia pegang, tanganku.

Hujan dan angin masih belum mereda saat akhirnya kudengar suara sang jabang bayi menangis. Syukurlah, batinku lega. Istriku seketika seperti kehilangan tenaganya, ia terkapar menormalkan ritmis nafasnya.

"Anakmu laki-laki." Hanya itu yang bisa kudengar dari mulut Mbah Piyah sebelum kemudian ia menghilang menuju kamar mandi membawa si Bayi. Bayiku penuh darah, jadi harus dibersihkan.

Tok tok tok.

Tak seberapa lama, kudengar suara pintu ruang tamu diketuk samar-samar tertutup suara hujan. Siapa lagi yang datang, pikirku. Langkahku cepat namun ragu menuju ruang tamu. Aku sangat kaget saat yang kulihat di balik pintu adalah Mbah Piyah! Kali ini tubuhnya kering, tanpa ada yang basah.

"Maaf, Aku terlambat. Gimana istrimu, Nang?" ucap Mbah Piyah sedikit berekspresi.

Jantungku seperti berhenti berdetak sementara. "Ini tidak mungkin! Tidak mungkin ada dua Mbah Piyah ...!" kataku tegas namun datar.

"Apa maksudmu?"

Aku bergegas menuju kamar mandi tanpa menghiraukan pertanyaan Mbah Dukun Bayi. Lariku sempoyongan karena tubuhku dibanjiri keringat dingin. Kakiku yang berangsur melemas kupaksa berlari menghindari apapun di depan.

"Astaghfirullah, Anakku!!!" Aku menjerit histeris saat yang kulihat didepan mataku adalah leak yang menggerogoti tubuh mungil penuh darah bayiku.


*end*

Solo, 24 Juli 2014
Diikutkan dalam Parade Horor Panchake 
 dengan tema "Maaf, saya datang terlambat"

Sumber gambar: Gambar 1 Gambar 2

9 comments:

  1. Replies
    1. Iya, fiksi kok. Tenang aja, hehe. Tapi mungkin aja bisa terjadi di dunia nyata.. :O

      Delete
  2. Anjrit bukan ceritanya yang seram tapi itu gambar terakhirnya.. wush wush

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, yang nulis cerita ini juga serem lho... #eh

      Delete
  3. wuanjirr ngeri banget bang bagus, gue juga pernah nulis horor tapi gak sehoror lu bang -_-. bisa kali kritik juga di cerita semi horor gue bang :p, hehhe

    ReplyDelete
    Replies
    1. banyak nonton film horor sama baca cerita horor aja, hehe. oke ke tkp...

      Delete
  4. ceritanya serem juga ya apalagi di tambahin gambar yang di bawah itu..

    ReplyDelete

yo yang sudah baca jangan kabur...
nih kolom komentarnya diisi dulu...
makasih :)