“The Hunger Games”
- Kisah The Hunger Games membayangkan di masa depan, pasca perang besar,
sebuah negara bernama Panem berdiri—dengan kota Capitol yang megah
sebagai pusatnya. Setelah pemberontakan besar usai, sebagai bagian dari
kesepakatan damai pasca perang, ke-12 distrik yang mengelilingi Capitol
diwajibkan mengirim 2 remaja (usia 12-18 tahun) untuk mengikuti ajang
bernama “The Hunger Games”.
Para remaja itu, disebut “tribute”, totalnya berjumlah 24, ditempatkan di rimba belantara buatan, dijadikan tontonan, mengikuti “reality show” tak sekadar bertahan hidup tapi juga harus saling bunuh hingga muncul satu pemenang saja. Yang menang mendapat kemahsyuran, tinggal di Capitol yang berlimpah kekayaan. Dengan latar seperti itu film ini didasarkan. Di Distrik 12, nama Primrose disebut dalam undian. Sadar adiknya takkan sanggup bertahan hidup, Katniss maju menggantikan sang adik. Sejatinya, ini adalah pesan yang empunya, kisah remaja baku hantam hingga ajal tetaplah bukan tontonan bagi anak di bawah usia 12 tahun.Lantas, jika isinya remaja saling bunuh, kenapa pula filmnya ditujukan bagi remaja?
Para remaja itu, disebut “tribute”, totalnya berjumlah 24, ditempatkan di rimba belantara buatan, dijadikan tontonan, mengikuti “reality show” tak sekadar bertahan hidup tapi juga harus saling bunuh hingga muncul satu pemenang saja. Yang menang mendapat kemahsyuran, tinggal di Capitol yang berlimpah kekayaan. Dengan latar seperti itu film ini didasarkan. Di Distrik 12, nama Primrose disebut dalam undian. Sadar adiknya takkan sanggup bertahan hidup, Katniss maju menggantikan sang adik. Sejatinya, ini adalah pesan yang empunya, kisah remaja baku hantam hingga ajal tetaplah bukan tontonan bagi anak di bawah usia 12 tahun.Lantas, jika isinya remaja saling bunuh, kenapa pula filmnya ditujukan bagi remaja?
********
The Hunger Games punya kisah mirip Battle Royale.
Temanya mungkin sama-sama tentang remaja saling bunuh. Tapi Collins,
sang penulis novelnya, dan Gary Ross, sutradaranya, sadar kisah yang
mereka suguhkan juga ditujukan bagi remaja. Yang lebih ditonjolkan The
Hunger Games kemudian bukan tentang detil bagaimana para remaja saling
bunuh, tapi perjuangan seorang anak manusia untuk bertahan hidup.
Memang ada darah muncrat. Tapi sedikit. Ada adegan laga, tapi tak
menyita perhatian. Banyak remaja yang mati, tapi lebih banyak yang tak
dimunculkan di film. Kita, penonton, lebih banyak diminta membayangkan
bagaimana mereka mati.
Buat saya, The Hunger Games malah lebih pas disebut kritik sosial
atas suguhan reality show yang mewabah di masyarakat kita. Film ini
berpesan, segalanya adalah tontonan demi menarik simpati penonton. Tengok
bagaimana para peserta The Hunger Games dijadikan tontonan. Atau momen
Katniss dipermak Cinna (Lenny Kravitz), penata busananya, demi menarik
simpati. Tengok pula “cinta” Katniss dengan Peeta (Josh Hutcherson) yang
lebih terasa sebagai tontonan. Bukankah cinta di reality show macam
dipertontonkan mereka akrab kitya saksikan dalam reality show macam AFI,
Penghuni Terakhir, dan entah apa lagi?
Ingat pula, sejak awal Hollywood memang tak ingin menyuguhkan sesuatu
yang kontroversial dan meniatkan film ini sebagai tontonan remaja. The
Hunger Games adalah mainan baru Hollywood untuk meraup banyak uang dari
penonton remaja. Cerita Harry Potter sudah tamat, sedang Twiilght
tinggal satu film tersisa. Hollywood butuh franchise yang membuat
pundi-pundi uang mengalir terus ke kantung mereka. Setelah beberapa kali
mencoba menghidupkan novel-novel remaja atau fantasi laris tapi
hasilnya flop ketika difilmkan, The Hunger Games jadi pertaruhan paling
akhir Hollywood. Beruntung hasilnya menggembirakan (di pekan pertama
meraup untung AS$ 155 juta!).
No comments:
Post a Comment
yo yang sudah baca jangan kabur...
nih kolom komentarnya diisi dulu...
makasih :)